DAFTAR ISI
Pendahuluan 1
Bukit
Seram 5
Hadiah 12
Cinta Monyet
17
Bilangin Mami,
Lo... 25
PENDAHULUAN
BUAT Lupus atau buat anak sedunia,
mungkin masa ia mungil adalah masa yang paling bahagia di mana setiap
hari kita bisa menemukan hal-hal yang baru, hal-hal sangat
mengasyikkan. Masa di mana setiap hari kita pun bisa mencetak
prestasi baru. Masa yang penuh kekonyolan, karena kita masih belum
begitu paham, apa yang seharusnya tidak boleh kita lakukan, dan apa
yang boleh. Dan masa yang sangat menyenangkan seperti ini, tentu tak
akan pernah datang dua kali. Hingga menjadi kenangan akan tetap kita
ingat sepanjang hidup kita
Masa kecil bagi Lupus pun punya arti
Karena Papi tercinta masih ada, dan Mami masih terus sibuk
bereksperimen membuat kue-kue baru. Sementara Lulu yang mungil, masih
selalu pura-pura cadel, biar tetap di manja. Dan bagi Lupus, saat
inilah saat yang paling bahagia dalam
hidupnya. Apalagi semua keluarga Lupus amat senang bercanda. Hingga
setiap hari rumah Lupus selalu dihiasi tawa-tawa ceria. Tawa yang
akrab antara. Papi, Mami, Lupus, dan Lulu.
Lupus sendiri memang anak yang sangat
cerdas, meski kadang juga nakal. Lupus emang lagi ngotot nggak mau
dibilang anak kecil lagi. Nggak mau dibilangin ingusan lagi. Padahal
usianya baru tujuh tahun. Tapi maunya dia diperlakukan seperti anak
gede. Hingga tingkah lakunya kadang bikin Papi dan Maminya kaget.
Dari sinilah nanti akan kamu temui banyak cerita konyol yang bisa
bikin kamu tertawa-tawa.
Seperti suatu ketika ada kejadian,
ketika Lupus pergi sendirian ke supermarket yang tak begitu jauh dari
rumah Lupus. Lupus berdiri di depan sebuah eskalator, dan dengan mata
melotot ia memperhatikan anak tangga yang masuk silih berganti.
Tentu tingkahnya ini menarik perhatian
manajer toko yang perutnya gendut. Manajer itu datang menghampiri
Lupus dan bertanya, "Apa yang sedang kaupandangi di situ, Nak?
Apakah ada sesuatu yang tak beres?”
"Oh, tidak," ujar Lupus tanpa
menoleh. '"Saya hanya menunggu permen karet saya yang tadi
jatuh."
Lupus tinggal di sebuah rumah mungil
yang pekarangannya cukup luas, dan banyak ditumbuhi tanaman. Isi
rumah mungil empat orang: Papi, Mami, Lupus, dan Lulu. Lulu itu nama
adik Lupus yang berusia enam tahun dan bersekolah di Kanak- kanak
yang tak begitu jauh rumah. Di rumah Lupus memang tak ada pembantu.
Karena Mami merasa tidak memerlukan bantuan, meski harus merawat
anaknya yang badung-badung itu. Ide itu amat disetujui Papi, karena
Papi kenal sangat irit kalau mengeluarkan duit. Istilahnya Lupus :
pelit.
Tapi Lupus dan Lulu emang badung, kok.
Suka bikin Papi sebel, kadang-kadang. Saking badungnya, Papi pernah
mengutarakan pendapatnya kepada Mami, ketika Lupus dan Lulu asyik
bermain di halaman dekat pohon jambu. "Papi rasa Lupus dan Lulu
kalau sudah besar akan jadi dokter semua,” ujar Papi sambil pasang
tampang cemberut kepada Mami.
Mami yang pagi itu sedang membuat telur
dadar, bertanya heran, "Apa alasan Papi berkata demikian?"
"Sebab kalo dipanggil mereka tak
pernah mau datang!"
Mami cuma tertawa. Sama tertawanya
ketika Lupus datang melapor padanya di suatu pagi yang lain, "Mi,
kenapa jantung Lupus suka berdebar kalau melihat muka Papi
akhir-akhir ini, ya?" Mami langsung meletakkan adonan kuenya,
dan menatap Lupus. "Wah, jangan-jangan kamu jantungan, Pus.
Sejak kapan itu berlangsung?"
"Sejak Lupus nemu uang seribu di
kantong celana Papi...."
Di sekolah Lupus pun banyak kejadian
lucu. Seperti ada anak yang bemama Toni, yang terkenal amat bandel.
Yang selalu keliatan tak pernah bisa mengerjakan soal yang diberikan
oleh Ibu Guru. Hingga Ibu Guru selalu merasa perlu memberi contoh
pada soal hitung-menghitung yang baru ia berikan. "Coba kamu
dengarkan sekali lagi, Toni. Misalnya Ibu punya sepuluh butir telur
di sini, dan lima butir telur lagi di sana. Berapa butir telurkah
seluruhnya yang Ibu miliki ?"
Toni terdiam beberapa saat, dan
kemudian dengan suara pelan ia menjawab, "Saya sulit percaya
kamu mempunyai telur sebanyak itu!"
Anak-anak pun langsung tertawa riuh.
Toni pun dapat hukuman lagi, karena memanggil Ibu Guru dengan sebutan
"Kamu".
Ya, Lupus memang duduk di kelas satu
SD yang murid-muridnya cukup nakal, tapi juga cukup cerdas-cerdas.
Mungkin itu karena anak-anak di kelas itu sudah amat lancar membaca,
dan mempergunakan kepinterannya dengan membaca buku-buku yang ada di
perpustakaan sekolah dan di rumah. Tapi ada seorang teman Lupus yang
be1um pernah belajar bagaimana harus bersikap di perpustakaan. Karena
itu ketika ia masuk perpustakaan, ia berbicara dengan suara yang
lantang, hingga mengganggu semua yang ada di situ.
Seorang petugas mendekatinya, dan
berkata, "Sst, harap tenanglah sedikit. Orang-orang itu tidak
bisa membaca....”
"Mereka tidak bisa membaca?"
seru anak itu dengan heran. "Lantas, untuk apa mereka datang
kemari?"
Hihihi...
Dan teman-teman Lupus di sekolah yang
suka berbuat konyol seperti itu memang ada banyak. Uwi, yang
rambutnya kini dikeriting papan, Happy yang bongsor, yang doyan
ketawa serta selalu membawa kue-kue di kotak makanannya, Pepno yang
rambutnya keriting dan berhidung bulat, Iko Iko yang rajin, Andi yang
jangkung karena mamanya orang Amerika, Toni yang bandel, Tomi yang
ketua kelas, dan masih banyak lagi.
Semua anak-anak ini biasanya dalam
soal badung, suka kompak. Seperti misalnya, karena akhir-akhir ini
sering terjadi kebakaran, maka Bapak Kepala Sekolah mendatangkan
kelompok pemadam kebakaran untuk mengajak murid-muridnya latihan, dan
diajari cara-cara mengatasi kebakaran di sekolah. Hari itu anak-anak
lagi dites ketangkasannya untuk keluar kelas secepat mungkin, jika
mendengar alarm kebakaran. Tapi walau telah berlatih berulang kali,
tampaknya sang komandan masih juga belum puas. Karena itu, ia berkata
kepada Bapak Kepala Sekolah, "Oke, ini yang terakhir. Saya harap
waktunya jauh lebih baik dari yang sudah-sudah."
Sang komandan pun membunyikan tanda
bahaya, anak-anak mendapat aba-aba, dan lekas-lekas lari meninggalkan
kelas. Semua dilakukan dengan baik, seperti yang telah rencanakan.
Waktu yang dicapai 3 menit 16 detik. Komandan cukup puas.
Tapi setelah anak-anak semua.
berkumpul lagi di kelas, lima belas menit kemudian terdengar lonceng
tanda istirahat. Anak-anak berhamburan keluar dari kelas. Dan sekali
lagi kelas menjadi kosong. Waktu yang dicapai ternyata hanya 3 menit
3 detik!
Tentu saja itu baru sebagian kecil
dari pengalaman konyol yang bakal kamu temui di dalam cerita ini.
Maka buruan deh kamu cari tempat yang enak, buat membaca beberapa
kejadian konyol lainnya yang dialami Lupus cerita ini. Siapa tau
suatu saat kamu bisa jadi temennya Lupus juga. Asal mau janji, jangan
ikut-ikutan nakal, ya ? Dan selamat menikmati hari-hari yang paling
bahagia sepanjang hidup kalian....
BUKIT SERAM
PAGI itu, sambil makan ubi goreng, Papi
nyoel jidat Lupus. "Bagaimana dengan acara kempingnya, Pus? Jadi
pergi ke Bukit Seram?”
“Hem,” Lupus bergumam pelan.
Mulutnya penuh ubi goreng.
“Apa nggak lebih baik ke Cibubur
saja," kata Papi lagi. "Di samping deket, tempatnya juga
rame. Dan tidak seserem Bukit Seram!”
Lupus berpaling ke ubi goreng. Wah,
tinggal dua! "Hmm, juga ngirit ongkos, kan?" tukas Lupus
sambil buru-buru meraih semua ubi goreng di situ.
“Hei, jatah Papi itu, Pus!" seru
Papi panik.
Lupus cuek. Mengunyah cepat ubi
gomenelannya. Glek.
“Oke, oke, pagi ini kamu menang,
Pus." Papi duduk di muka Lupus. "Kamu dapat enam ubi
goreng, Papi cuma tiga."
Lupus masih asyik mengamati peta Bukit
Seram. Bukit Seram? Di mana itu? Soal tempat, sebaiknya tak usah
kalian pikirkan. Yang jelas, kalo kalian tertarik ke sana Bukit Seram
itu adalah tempat yang asyik banget buat kemping. Alamnya indah.
Hawanya sejuk. Walau... banyak setannya!
"Makanya lebih baik ke Cibubur
saja. Cibubur kan deket rumah Tante Ina. Kalo kenapa-napa kamu bisa
lari ke sana minta bantuan. Kalo lapar bisa minta makan. Dan kalo
ketemu setan bisa teriak sama-sama!"
Diledek begitu Lupus cabut ke dapur.
Tapi langsung balik lagi ke kamarnya. Karena di dapur ada Mami yang
juga sudah siap akan meledek Lupus.
Lupus emang sebel banget. Dari kemaren
ia digodain terus sama Mami sama Papi. Lulu juga ikut-ikutan
ngeledekin Lupus. Tapi yang bikin Lupus sebel, karena oleh Mami dan
Papi Lupus dianggap anak kecil yang masih takut sama setan. Dan akan
merengek-rengek kalo lapar!
"Tolong dengar, ya! Lupus yang
sekarang ini sudah lain dari Lupus yang dulu-dulu. Lupus sudah tidak
takut pada setan, tuyul, kuntilanak, drakula... kalo mereka tidak
ada. Lupus juga nggak nangis kalo perut sedang lapar!"
Tapi Mami dan Papi tetap nggak percaya.
"Masa iya kamu tidak takut sama setan?"
"Buktinya Lupus akan kemping ke
Bukit Seram, tidak ke Cibubur!"
Lupus memang kadang-kadang suka muncul
keras kepalanya. Itu yang suka bikin Papi gondok, karena kalau sudah
begitu, Lupus akan selalu ngotot dalam segala hal.
"Kamu memang selalu menyangka
bahwa kamu benar," ucap Papi lagi. "Padahal kamu pernah
salah juga, kan?"
Lupus memandang Papi, lalu berujar
pelan, "Iya, sekali waktu Lupus memang pernah salah."
"Nah, akhirnya kamu ngaku juga,"
seru Papi dengan gembira, lalu mengelap tangannya yang habis dicuci
di wastafet "Kapan itu, Pus? Waktu berdebat soal telur?"
"Bukan. Kemaren dulu," tukas
Lupus, "yaitu ketika Lupus menyangka bahwa Lupus salah, dan
ternyata Lupus benar."
Papi gondok.
Kebetulan Sabtu depan sekolah Lupus
memang pulang setengah hari. Anak-anak sudah bikin rencana untuk
kemping. Selain Pepno, anak-anak lain macam Andi, Uwi, Happy, dan Iko
Iko pada mau ikut.
Mula-mula, karena Pepno penakut, ia
mengusulkan pergi kemping di halaman rumahnya saja. Anak-anak ogah.
"Di sana tempatnya segar, kok.
Kalo mau masak ambil airnya juga gampang. Tinggal buka keran!"
tukas Pepno.
Sementara Andi dan Uwi usul ke Pasar
Minggu. "Tempatnya enak, banyak buah-buahan, lagi!" alasan
mereka.
Kalo Iko Iko lebih suka ke Cibubur.
Tapi Lupus dengan tegas menolak semua usulan teman-temannya, "Kita
mesti pergi ke tempat yang dapat mendatangkan pengalaman istimewa.
Misalnya pergi ke suatu tempat yang jarang didatangi orang, atau
pergi ke tempat yang ada penunggunya!"
"Ada penunggunya? Halaman rumahku
kan ada penunggunya, Pus. Pak Ihsan, tukang kebun."
"Bukan itu maksudku. Bukan
penunggu macam Pak Ihsan."
"Jadi macam apa?"
"Tidak ada macamnya. Karena memang
tidak berwujud."
"Maksudmu penunggu itu..."
"Ya, makhluk halus!"
Lupus merasa perlu membuktikan dirinya
bukan anak kecil lagi. Bukan anak yang suka meleran lagi. Makanya ia
harus pergi ke Bukit Seram. Untuk mengetes mentalnya.
“Bukit Seram. Kalian nggak perlu
kuatir walau di sana banyak setannya dan tak jarang orang kesurupan.
Kita kan sudah gede! Meski kita cuma menginap semalaman, tapi akan
banyak mendatangkan manfaat buat kita. Pokoknya jangan takut, kalo
ada apa-apa, saya bertanggung jawab."
"Kamu kayaknya udah nggak sabaran
banget, Pus," tegur Mami waktu melihat Lupus memilih-milih baju
yang akan dibawa kemping. Lupus menaruh ranselnya ke kolong tempat
tidur setelah memasukkan buku-buku cerita koleksinya yang paling
disukai. Takut kalo-kalo nanti digeratak Lulu, makanya Lupus
menyembunyikan ransel ke kolong tempat tidur.
"Sudah selesai, Pus?" tegur
Mami lagi dari kamar mandi.
"Sudah, Mi."
"Kok, cepat? Apa kamu tidak perlu
bala bantuan?"
"Tidak. "
"Nanti ada yang kelupaan lagi...:'
"Tidak mungkin."
"Celana dalam?"
"Sudah. "
Celana panjang?"
"Sudah. "
“Kaus kaki?"
"Sudah."
Lupus memang menolak untuk dibantu.
Semuanya pengen dikerjakan sendiri. Lupus juga menyarankan kepada
teman-temannya untuk mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Aturan
mainnya, kalo sampe ada yang ketauan dibantu ortunya, dapat hukuman
harus menggotong semua ransel yang ada. Meski ransel sudah cukup
aman, tapi ia belum terkunci rapi. Ransel itu punya Papi. Lupus nggak
tau cara mengunanya.
"Bagaimana, ada yang bisa Mami
bantu?" tanya Mami setelah keluar dari kamar mandi.
"T-tidak ada," tukas Lupus.
seraya menutupi pandangan Mami ke arah ranselnya.
Setelah Mami masuk kamar, Lupus
buru-buru mengikat ransel dengan tambang plastik.
"Lho, kok diikat tambang?"
tegur Mami yang hendak mengambil sisir yang tertinggal di kamar
mandi.
"Biar kuat, Mi."
"Kan sudah ada talinya, Pus."
"Biar. Lupus lebih suka
mengikatnya dengan tambang."
Sorenya setelah pamitan, Lupus
berangkat menuju Bukit Seram. Lupus dan kawan-kawannya menumpang
sebuah kendaraan colt milik ortunya Pepno. Sialnya tu mobil di jalan
kempes melulu. Akibatnya kala sampai di Bukit Seram, matahari sudah
tak tampak. Kabut pun mulai menyelimuti.
Dan setelah mobil colt itu pulang, hari
betul-betul sudah gelap. Sedang tenda belum berdiri. Uwi yang
rambutnya dibikin keriting papan itu mulai merengek-rengek.
"Uwi, kamu jangan kayak anak kecil
gitu, dong," omel Lupus. "Baru sampe kok udah nangis, sih!"
"Yee, Uwi kan memang anak kecil,"
bela Uwi sambil mengusap air matanya. Saat mereka mulai memasang
patok tenda, sudah kedengaran suara-suara aneh
"Pus, seperti ada suara bayi
menangis, deh," Pepno menerka.
'''Huaaa,'' Uwi menjerit.
"Bohong! itu cuma perasaan kamu
aja, Pep! Sudah, teruskan pekerjaanmu."
Mereka cepat-cepat mendirikan tenda.
Uwi yang sesungguhnya dapat tugas ngambil air langsung mengkeret tak
mau berbuat apa-apa. Happy yang badannya gede, membantu Lupus menarik
tali untuk peyangga tenda. Karena tak lagi musim kemping, tenda yang
berdiri di perbukitan mahaserem itu ya, cuma tenda Lupus! .
Anak-anak cowok masih meneruskan sisa
pekerjaan dengan mengencangkan tali-tali tenda, kala Uwi tiba-tiba
terpekik!
"Ada apa?"
"A-aaa..."
"Ada apa?"
"A-ada permen baru! Eh, bukan...."
"Ada apa, Wi? Kenapa kamu teriak?"
.
"Ada sepasang mata di sana...,”
jelas Uwi sambil menunjuk ke arah semak belukar yang bergoyang ditiup
angin malam Bukit Seram. Sementara Uwi pun pingsan dengan
gemilang....
Uwi masih belon sadar. Pandangannya
yang bersirobok dengan sepasang mata di semak-semak membuat sekujur
badannya begitu lemes.
"Wi, bangun dong. Pingsannya besok
aja kalo udah sampe rumah. Di sana kan ada ibu kamu," ujar
Pepno yang ikut ketakutan menggoyong tubuh Uwi ke sana kemari.
“Pep, Jangan digoyang-goyang begitu,”
tukas Iko Iko.
"Biar sadar, Ko....”
Ya, untungnya tenda yang dipasang Lupus
dan teman-temannya sudah siap. Kalo nggak? Wah, bisa kebayang deh
ketakutannya mereka dicekam suasana malam Bukit Seram!
Lupus yang berusaha tidak takut
(padahal hatinya kebat-kebit!) berpikir keras untuk menyadarkan Uwi.
“Hmm... ya dikitikin aja!" kata
Lupus tiba-tiba dan langsung mengitik-ngitik pinggang Uwi. Yang
dikitik-kitik jelas kegelian. Pinggangnya bergoyang ke kanan ke kiri.
Tapi Uwi-nya tetap pingsan!
Nah, gimana Lupus nggak kesel. Gelinya
mau tapi pingsannya juga iya. Dasar kemaruk ni anak. Udah tau suasana
serem begini, pingsannya lama, lagi. Lupus terus ngedumel.
Tiba-tiba mata Lupus menatap ke arah
kaki Pepno yang sedang duduk selonjor. Kaus kaki? Ya, kaus kaki Pepno
pasti bisa buat menyadarkan Uwi. Dengan isyarat sekenanya Lupus
mencopot kaus kaki Pepno.
Lalu kaus kaki itu diayun-ayunkan tepat
di atas idung Uwi. Dugaan Lupus benar! Uwi langsung batuk-batuk.
"A-apa ada tumpukan karung basah
di sekitar sini," Uwi mulai bicara. "Baunya menyengat
sekali!"
Lupus, Happy, Iko. Iko, Andi, dan Pepno
memberi senyum seiring Uwi membuka matanya.
"Huaaa...!" Uwi histeris lagi
begitu melihat wajah Pepno.
"Eh, bukan. Ini, saya, Pepno, Wi."
"Ooo, maap. Saya kira kamu
semak-semak!"
Hihihi, Pepno langsung merengut
dibilang kayak semak-semak.
"Sudahlah, Pep," bujuk Lupus
melihat Pepno merengut begitu. "Kamu nggak mirip semak-semak,
kok. Cuma... nggak beda aja."
Hihihi.
Setelah Uwi benar-benar pulih, Lupus
menanyakan tentang sepasang mata yang diliat Uwi tadi.
"B-benar, Pus. Di
semak-semak di luar sana," ujar Uwi sambil menunjuk ke arah
semak-semak di luar.
"Di dekat danau. Sepasang mata itu
bergoyang-goyang...."
"Huaaa...!" Pepno kali ini
yang berteriak.
"Pep, kamu apa-apaan, sih?"
"Anu, Pus, andai sepasang mata itu
benar-benar ada..."
"Bohong! Itu cuma perasaan Uwi
aja. Dia terlalu membayangkan yang bukan-bukan. Uwi seakan-akan
melihat sepasang mata, padahal memang mata, eh, maksud saya cuma
semak-semak biasa yang bergoyang ditiup angin. Makanya jangan punya
pikiran yang nggak-nggak! Kalian harus berani, katanya sudah bukan
anak ingusan lagi...."
Anak-anak manggut-manggut. Lupus segera
membagi tugas. Andi dan Iko Iko disuruh mengumpulkan kayu bakar.
Pepno masak air. Dan Lupus milih tugas menyalakan api unggun!
Tak lama kemudian, mereka sudah
mengelilingi api unggun. Uwi menghidangkan susu coklat. Happy membuka
bekal rotinya yang berjejal di tasnya. Pepno, Iko Iko, dan Andi juga.
Lupus? Mencomoti sedikit-sedikit bekal anak-anak.
Mereka lalu nyanyi-nyanyi sambil
menggetok-getok panci dan sendok. Ya, mereka mengiringi Pepno
menyanyikan lagu New Kids on the Bloek, lengkap dengan gaya
nge-rap-nya. Jogetnya juga kocak. Badannya membungkuk. Tangannya
merentang. Lalu ia berputar-putar. Sepintas lalu jadi mirip ayam
kalkun! Hehe....
Sementara tak jauh di belakang mereka,
semak-semak di sana bergoyang pelan. Bukan! Semak-semak itu bukan
digoyang angin.
Anak-anak masih asyik tertawa. Apa lagi
kini Lupus menggelar tebak-tebakan konyolnya.
"A-ada yang tau artinya M-T-A,
nggak?”
"Apaan tuh, M-T-A?"
"Mau Tau Aja!"
"Huuu..."
"Saya juga bisa," ujar Pepno.
"Apa kepanjangan P-N- Y?"
"P-N-Y? Wah, nggak tau tuh."
"Nggak tau?"
"Nggaaak."
"Mau tau?"
"Iya. Apaan sih?"
"P-N-Y, artinya... Penasaran Ni
Yeee."
"Huuu..."
"Eh, monyet apa yang enak
didengar?"
Happy kali ini yang kasih tebakan.
"Apa, ya?" anak-anak berpikir
keras.'
"Nggak tau? Jawabannya: Mo nyet...
el New Kids on the Block, kek, mo nyetel Phil Collins kek, terserah.
Hihihi..."
Selanjutnya giliran Uwi maju baca
puisi.
Uwi berdiri. Ia baru saja hendak
membacakan puisi, ketika tiba-tiba ia berteriak ketakutan lagi.
"A-ada sepasang mata lagi...!"
Uwi, lagi-lagi, pingsan dengan
gemilang. Lupus buru-buru mencopot kaus kaki Pepno.
"Ya, ya, saya sadar, deh.
Mendingan buru-buru sadar daripada nyium kaus kaki Pepno," ujar
Uwi lemes. "T-tapi s-saya benar-benar melihat sepasang mata itu,
di sana!"
Yang ditunjuk Uwi adalah serumpun
semak-semak yang sedang bergoyang ditiup angin. Ya, kini memang
bergoyang ditiup angin Bukit Seram!
''B-benar Pus. S-saya sungguh-sungguh
melihatnya. S-saya takut..."
"Pasti, kamu masih punya pikiran
yang bukan-bukan... ?"
"Tidak, Pus!"
Lupus tidak bicara apa-apa lagi. Yang
lainnya juga sudah pada takut.
"Kita pulang aja deh, Pus,"
saran Pepno.
"Pulang naik apa?" sembur
Lupus kesel.
"Atau begini saja,. Pus,"
usul Iko. "Gimana kalo kamu selidiki sepasang mata di
semak-semak itu? Kan cuma kamu di antara kita yang pemberani."
"T-tapi."
“Katanya kamu bukan Lupus yang dulu
lagi."
"Baiklah. Tapi kalian ikut juga,
dong."
"Wah, kalo kita-kita nggak berani,
Pus."
Lupus, karena malu sama tekadnya,
akhirnya nekat menghampiri semak-semak itu. Bulu kuduknya merinding.
Semak-semak itu disibaknya. Tak ada apa-apa. Disorotnya dengan
senter, tetap tak ada.
Tapi ketika Lupus hendak balik ke
tenda, tepat di hadapannya muncul mata-mata itu. Tidak sepasang, tapi
dua pasang!
Kontan Lupus lari kocar-kacir.
Terkencing-kencing pula ia di celana. Melompat ke dalam tenda.
Dipeluknya anak-anak yang lain.
"I-iya di sana benar-benar
ada...." Lupus segera pingsan disusul dengan anak-anak yang
lain.
Sementara di semak-semak terdengar
suara cekikikan. Sumbernya dari dua pasang mata itu.
"Hihihi, ternyata Lupus masih
penakut, Pi."
"Iya, Mi, baru gitu aja udah lari
terbirit-birit!"
Lho, kok dua pasang mata itu bisa
ngomong?
Oho, kalian nggak usah heran. Ini
ternyata memang ulah mami dan papi Lupus yang ingin mengetes mental
anaknya dengan menyamar jadi setan-setanan.
"Payah deh, kalo baru segitu aja
udah ngacir."
"Iya. Katanya sudah bukan Lupus
yang dulu lagi."
"Sekarang kita balik ke mobil,
yuk, Pi. Di sini dingin," usul Mami kemudian.
Papi setuju.
"Eh, ngomong-ngomong Papi kan
nggak ajak orang lain lagi, selain Mami, untuk menakut-nakuti Lupus?"
“Enggak. Emangnya kenapa?"
“Lho, l-lalu sepasang mata yang ada
di sana itu milik siapa?"
"D-di mana?"
“Itu." Mami menunjuk ke arah
semak yang tak jauh dari situ.
"Wah, P-papi nggak tau mata itu
milik siapa."
"'Wah, jangan-jangan... tolooong!"
tiba-tiba Mami berlari kencang sekali.
"Huaaa... Mi, tungguuu!" Papi
terbirit-birit di belakangnya.
HADIAH
GARA-GARA Lupus pernah
dapat hadiah kaus dan topi dari majalah Kawanku yang dilangganinya,
Mami juga ikut-ikutan pengen dapat hadiah. Belakangan Mami jadi
sering beli majalah yang menyajikan kuis berhadiah. Sayangnya majalah
yang dibeli Mami majalah-majalah lama. Alasannya, "Kalo beli
majalah baru, dua ribu dapat satu, tapi yang bekas bisa dapat lima.
So pasti Mami bisa punya kupon lebih banyak, kan?" Ya, kuis
berhadiah di majalah kalo mau dikirim mesti disertai kupon.
"Tapi, Mi, kupon-kupon
itu sudah tidak berlaku lagi. Sudah basi," Lupus mengingatkan.
"Basi? Emangnya
makanan."
"Apa Mami pernah dapat
tanggapan atas surat-surat yang Mami kirim itu?"
"Belon."
"Ya, itulah, Mi. Karena
udah nggak berlaku. Majalah yang Mami kirim itu majalah keluaran
tahun berapa?”
"Tahun 1979!"
"Pantes...."
Akhirnya, demi bisa
memperoleh hadiah, Mami rela menyisihkan uang belanjanya untuk
membeli majalah baru. Tentu saja Mami membeli majalah. wanita, bukan
majalah anak-anak seperti punya Lupus.
Dan sore itu Mami menantang
Lupus.
"Barang siapa di antara
kita yang berhasil memperoleh hadiah dari kuis berhadiah yang ada di
majalah, maka dia berhak dikukuhkan sebagai orang yang paling
beruntung di rumah ini. Setuju?"
Lupus mengangguk. Tanda
setuju.
Papi yang sedang asyik
menghirup kopi, tiba-tiba minta ikutan. "Papi ikut bertaruh!"
"Eh, Papi kan nggak
punya majalah?" protes Mami.
"Iya, Papi nggak pernah
beli majalah," sambung Lupus.
"Yang penting kan
bagaimana caranya mendapat hadiah. Punya majalah atau tidak itu tak
soal. Papi yakin bahwa Papi-lah orang yang paling beruntung di rumah
ini."
Kini memang hampir di
setiap majalah ada kuis berhadiahnya. Ada yang menyediakan hadiah
kaus, topi, atau televisi. Malah ada kuis yang berani menyediakan
hadiah rumah.
Kebetulan di majalah Lupus
ada sebuah kuis yang menyediakan hadiah bermacam-macam. Aturan
mainnya gampang saja. Cuma disuruh mengisi sebuah kupon lalu gunting
dan tempelkan pada selembar kartu pos. Setelah selesai Lupus pun
mengirimkannya ke kantor redaksi majalah. Kuis berhadiah itu
menyediakan satu hadiah utama berupa TV berwarna.
Dan persaingan memang sudah
dimulai. Masing-masing secara diam-diam mengirimkan kupon. Lupus
sendiri sudah mengirimkan beberapa kupon. Mami juga. Ia jadi
sering-sering main-main ke tetangga. Lho, apa hubungannya? Ada, yaitu
Mami suka minta kupon yang ada di majalahnya tetangga. Maksud Mami
biar kemungkinan dapat hadiah lebih besar. Ih, ada-ada aja.
Mami ternyata tertarik pada
sebuah kuis yang menjanjikan hadiah mobil. Aturan mainnya juga nggak
susah. Kuis itu meminta Mami untuk menebak nama gambar bintang film
yang matanya ditutup. Kebetulan Mami tau siapa nama bintang film itu.
Makanya Mami semangat banget mengirim kupon kuis itu
sebanyak-banyaknya. Kalo Mami ketemu tetangga siapa aja, pasti Mami
minta kupon.
"Jeng, langganan
majalah nggak? Kalo langganan, kupon kuisnya buat saya,. deh. Kalo
nggak langganan, ya kupon kuisnya tak usah buat saya."
Hihihi.
Bagaimana dengan Papi? Papi
tak mengharapkan hadiah dari majalah, melainkan dari radio. Karena
gratis! Tak perlu mengeluarkan uang, Papi tinggal mendengarkan acara
radio yang suka menggelar acara kuis. Dan kebetulan memang ada sebuah
kuis yang menarik perhatian Papi. Kuis itu menantang Papi dengan
pertanyaan: Bagaimana cara praktis menghemat uang belanja? Papi
menjawab: Jangan boros!
Yang lebih aneh, Papi tak
mengirim kartu pos jawabannya, melainkan langsung dateng ke studio
dan membisikkan jawabannya kepada penyiar.
"Hehe... dengan begini
Papi bisa memperoleh hadiah tanpa harus mengeluarkan uang sepeser
pun!" Ya, inilah prinsip Papi!
Sebulan kemudian, Lupus,
Mami, dan Papi pada menanti-nanti. Masing-masing saling berharap
mendapat hadiah. Masing-masing pengen kepilih menjadi orang paling
beruntung!
Lalu siapa pemenangnya?
Lagi-lagi Lupus-lah orang yang paling beruntung itu. Ya, Lupus
berhasil keluar sebagai pemenang, meski cuma pemenang harapan. Dan
artinya Lupus hanya mendapat hadiah jam tangan mungil. Tapi toh,
Lupus bisa dianggap orang yang paling beruntung dibanding Papi dan
Mami yang sama sekali tak mendapatkan apa-apa.
Nama Lupus terpampang di
majalah sebagai pemenang kuis yang berhak mendapatkan hadiah. Lupus
girang bukan main. Dia bersorak-sorak gembira.
Di sekolah banyak teman tau
bahwa Lupus pemenang dari kuis di majalah Kawanku. Dan Lupus dapat
ucapan selamat dari mana-mana.
"Wah, selamat ya, Pus,"
jabat Uwi.
"Mimpi apa kamu, Pus?"
salam Pepno.
Hampir semua anak memberi
selamat ke Lupus. Lupus senang? Nggak juga! Karena selain pada ngasih
selamat anak-anak itu juga pada minta ditraktir.
"Ya, traktir dong, Pus.
Kamu kan dapat rezeki."
"Makan-makan, dong."
"Iya, Pus, ke kantin
dong."
Lupus memang masih punya
uang untuk mentraktir mereka. Tapi pas pulang sekolah Lupus sudah tak
punya apa-apa. Ketika dicegat penjaga bel yang ikut minta traktir,
Lupus benar-benar tongpes!
"Besok deh, Mang."
"Bener, besok, ya?"
Di tengah jalan Lupus juga
distop beberapa abang becak yang minta traktir.
"Wah, ini lho, yang
dapat hadiah itu. Traktir kita-kita dong. Makan di warteg aja, Nak
Lupus."
"Maaf, saya nggak bawa
uang, Bang."
"Ngutang aja dulu."
"Kalo besok gimana,
Bang?"
"Besok? Kita-kita ada
acara, tuh."
"Acara apaan, sih?"
"Anu, biasa,
demonstrasi, eh nggak ding! Cuma acara ini kok, mau nyuci becak
bareng-bareng! Hehehe."
Dan sampai di rumah pun
Lupus disambut Lulu yang minta traktir dibeliin coklat Toblerone.
Lupus jadi terkenal. Tapi
dia jadi bingung karena tiap orang yang ketemu selalu minta traktir.
Bahkan sampe ke Ibu Guru, Ibu Kantin, ibu jari, eh sori, maksudnya
para tetangga yang sudah ibu-ibu semuanya pada minta traktir.
Di mana dan kapan saja tiap
orang ketemu Lupus pasti minta traktir. Terus, terus, dan terus minta
traktir. Lupus jadi bingung. Dan tanpa sadar, sudah seminggu ini uang
tabungannya ludes untuk mentraktir teman-temannya.
Lupus sedih. Di kamarnya
dia memandangi jam tangan mungilnya, hadiah dari Kawanku.
Dielus-elusnya jam itu.
"Kalo dipikir-pikir
lebih baik saya tak usah dapat hadiah, deh. Abis uang jajan saya
selalu habis buat nraktir orang. Lagian harga jam ini paling berapa,
sih? Kalo dijual mungkin lebih sedikit dari pengeluaran Lupus buat
nraktir anak-anak itu!" .
"Berarti tak ada orang
yang paling beruntung, dong!" sergah Mami dan Papi yang
tiba-tiba muncul menepuk pundak Lupus.
Memang! Mendapat hadiah itu
memang belum tentu beruntung. Lebih-lebih kalo dapat hadiahnya dari
SDSB! Ih, amit-amit! Pasti dirongrong seluruh orang di dunia!
CINTA MONYET
Di suatu senja di musim
yang lalu. Ketika itu hujan rintik. Terpukau aku menatap wajahmu...
Lho, kok kayak lagu zaman dulu, sih? Eh, tak usah heran. Sebab senja
itu di rumah Lupus ada banyak teman-teman mami Lupus semasa sekolah
dulu. Ya, sekalian bersilaturahmi abis Lebaran kemaren. Mami memang
mengundang teman-teman masa SMA-nya dulu, untuk membicarakan rencana
reuni. Wah, suasananya rame sekali.
Mereka saling bercerita
sambil tertawa-tawa.
"Du, maminya Lupus, kok
centilnya ndak ilang-ilang, ya. Tapi, ada yang ilang juga, lho. Ayo,
apanya..?" ujar seorang ibu yang gendutnya nggak ketulungan.
"Wah, apanya tuh, jeng
Ret?"
"Anu, kecenya...!"
"Hahaha, bisa aja ni,
jeng Ret. Teman-teman, jeng Ret juga dari dulu nggak berubah, ya?"
"Apanya yang nggak
berubah, Mami Lupus?"
"Ah, nggak jadi ah."
"Lho, Mami Lupus ini,
kok, bikin penasaran aja. Apanya yang nggak berubah?"
" Itu... tembamnya!”
"Hahaha... Mami Lupus
ini bisa aja."
Jeng Ret, teman mami Lupus
yang terkenal doyan bercanda itu, langsung merah, kuning, ijo
wajahnya. Malu dia. Rupanya, dulu-dulu, beliau-beliau itu sudah
terbiasa bercanda. Kayak kita-kita. Pipi Jeng Ret memang tembem. Tapi
terus terang aja, itu malah menambah manis wajahnya.
Seiring dengan itu salah
seorang teman mami Lupus yang body-nya lumayan langsing maju ke muka.
Ngomongnya sok serius sekali, hingga mami Lupus tersenyum geli.
"Perhatian ya,
semuanya. Adapun rencana reuni kelas kita yang mana telah kita
rencanakan pada waktu sekian lalu, adalah sebagai berikut.
Pertama-tama kita bersama segera rapat adanya, dan membahas apa saja
yang perlu kita bahas. Kedua, kita bersama membicarakan tempat dan
waktunya tentang acara reuni itu berlaku. Ketiga, adalah masalah dana
yang perlu kita rembuk bersama, ibu-ibu. Dan terakhir, untuk Mami
Lupus, apa hidangannya telah siap untuk segera disantap bersama?"
Ibu-ibu langsung terbahak.
Mami Lupus buru-buru
beranjak hendak mengeluarkan makanan yang sejak tadi disembunyikan.
Pikir mami Lupus, kali-kali aja pada lupa. Kan bisa buat Lupus dan
Lulu.
"Lupus, Lulu...! Tolong
keluarkan kue-kue yang ada di dalam lemari itu, Nak!" perintah
Mami.
Sementara Lupus dan Lulu
yang sejak tadi ngedumel lantaran nggak diperhatiin kelangsungan
hidupnya, dengan malas beranjak ke lemari makan. Ya, Mami ternyata
telah menyiapkan banyak sekali makanan untuk teman-temannya. Ada kue
keju, kue nastar, kacang goreng, dan semua sisa Lebaran kemaren. Dan
yang teristimewa, Mami kini sudah berhasil membuat pizza sendiri.
Rencananya, inilah saat yang tepat bagi Mami untuk mempertunjukkan
kebolehannya di depan teman-teman SMA-nya. Lupus dan Lulu sibuk
mondar-mandir membawa piring berisi kue yang sama sekali tidak boleh
disentuh.
Ibu-ibu langsung berebut
menyantap,
dan, "Waaah, pizza-nya
enak sekali, Mami Lupus. Beli di mana?"
"Bikin sendiri, kok."
"Bikin sendiri? Bukan
main...."
"Mudah kok bikinnya.
Saya aja sekali bikin langsung jadi," ujar Mami sombong.
Ibu-ibu pada
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tok, tok, tok.
Olala, ternyata di luar
pintu ada yang ngetuk. Oho, tak taunya Papi baru pulang dari kantor.
Kayaknya Papi nggak tau kalo di rumahnya ada teman-teman Mami ketika
sekolah dulu. Maka Papi terperanjat waktu melongok ke ruang tamu yang
ramai seperti Pasar Pagi.
Dan teman-teman mami Lupus,
demi melihat Papi, langsung mengolok-olok. Maksudnya
ngebercanda-candain, gitu.
"O, itu si Mul dulu
yang kamu kejar-kejar, ya?" goda seorang teman pada mami Lupus.
Untung Papi sudah buru-buru menyelinap ke balik tembok. Tapi tak
langsung ke kamar, melainkan ngumpet di gorden, ingin mencuri dengar
percakapan ibu-ibu itu.
"Enak aja," tukas
mami Lupus. "Dia yang ngejar-ngejar saya, kok!"
"Hahaha."
Papi Lupus di balik tembok
sebel hatinya diledek begitu.
"Sabar, Pi," kata
Lupus yang ikut-ikutan bersembunyi di balik gorden. "Namanya aja
orang lagi nostalgia."
Papi terkejut melihat Lupus
yang ternyata ikut bersembunyi di balik gorden.
"Iya, Pi," Lulu
ikut-ikutan menenangkan Papi yang dibercandain teman-teman Mami.
"Dulu," tukas
seorang teman Mami, "katanya kamu nggak suka sama dia. Katanya
orangnya pelit. Apa betul?"
"Iya. Mami Lupus ini
gimana sih? Kan waktu itu sudah akrab sama Basuki, kakak kelas kita
yang berewokan itu."
"Iya, iya. Tadinya saya
memang sudah milih Basuki. Tapi pas melihat dia yang datang dengan
kepolosan dan kejujuran bahwa ia mencintai saya dengan begitu tulus,
ya saya terima."
"Dooo...!" Ibu-ibu
pada ngeledek.
"Dan Mami Lupus
bahagia?"
"Begitulah. Tapi memang
tak seindah yang saya bayangkan ketika saya pacaran sama Basuki
dulu."
"Hahaha, Mami Lupus ini
paling bisa, deh. Nanti kalo bapaknya anak-anak dengar berabe, lho.
Hahaha...."
Dan Papi makin mengkeret aja
tampangnya.
"Tenang, Pi,"
hibur Lupus lagi, "Mami kan orangnya demen bercanda."
"Iya, Pi," timpal
Lulu juga.
Tapi Papi masih keliatan
mengkeret.
Dan tanpa
berperikemanusiaan, ibu-ibu tetap melanjutkan olok-oloknya sambil
menyantap hidangan. "Tapi apa kebiasaannya menulis puisi cinta
kalau lagi naksir seorang itu masih diteruskan, Mami Lupus?"
Mami Lupus tersenyum. "Ya,
kumpulan puisinya masih ia simpan, tapi tak ada penerbit yang mau
menerbitkan. Hahaha...."
Ibu-ibu tertawa.
Papi makin mengkeret.
"Papi tersinggung ya
denger olok-olok Mami?" tanya Lupus yang sedih melihat bapaknya
bingung kayak begitu.
"Papi memang malu,"
kata Papi kemudian, "tapi bukan karena ledekan itu."
"Jadi karena apa?"
"Salah seorang teman
Mami, yang pakai gaun merah dan berbadan langsing itu, adalah salah
satu wanita yang Papi kejar-kejar dulu, sebelum akhirnya Papi ketemu
mami kamu."
"Ah, itu kan biasa,
Pi."
"Iya, Papi tau. Tapi
waktu Papi pacaran
sama Mami dulu, ngakunya
nggak pernah ngejar-ngejar wanita lain selain Mami."
"Hihihi," Lupus
dan Lulu tertawa.
"Padahal sudah sepuluh
puisi cinta yang Papi kirimkan buat wanita itu."
Lupus dan Lulu melongo.
Sedang Papi langsung masuk kamar. Sementara Lupus diam-diam mulai
tertarik dengerin rumpi-ria teman-teman Mami tentang kehidupan di
masa muda mereka. Lupus sama sekali tak membayangkan kalau
dulu-dulunya ortu mereka suka pacaran juga, suka ledek-ledekan, suka
ngumpul-ngumpul, dan sebagainya.
Dan agaknya Mami dan
teman-temannya sudah lupa pada apa yang hendak mereka bicarakan
semula. Soal reuni yang bakal dibahas itu, tampaknya kalah menarik
dengan obrolan soal pacaran. Khususnya tentang cinta monyet mereka.
Rumpi-ria diseIingi dengan
mengemil kue-kue bikinan mami Lupus.
"Ayo dong Mami Lupus
cerita tentang pengalaman cinta monyetnya."
Mami Lupus tersipu.
"Ya, pada waktu itu
saya pernah naksir seorang anak yang tinggal di depan rumah. Anaknya
sopan. Dan murah senyum. Nah, saya termasuk salah seorang yang suka
mendapat senyum itu."
"Kalo saya,"
cerita ibu yang lain, "pada waktu itu saya naksir guru olahraga
saya."
"Ah, masa?"
"Iya. Orangnya baik dan
selalu memperhatikan saya. Dulu kan saya orangnya minder. Suka malu
kalo berolahraga. Karena ada luka di betis saya. Tapi oleh guru itu
saya diberi keyakinan, hingga saya bener-bener tidak malu lagi untuk
ikut berolah-raga. Ya, pada akhirnya saya simpati padanya."
Lupus yang ngumpet di balik
tembok makin asyik nguping pembicaraan teman-teman maminya.
"Kita," tukas Jeng
Jian kemudian, "memang hampir pasti pernah mencintai orang lain
sebelum kita mencintai suami dan anak-anak kita. Ada di antara kita
yang pernah suka pada penjaga bel lantaran orang itu ramah, ada juga
yang pernah demen sama guru, dan ada pula yang suka pada kakak
kelasnya. Dan itu adalah masa-masa yang membuat kita bahagia.
Makanya, saya pikir, kalo ada anak-anak kita yang masih kecil tau-tau
sudah senang sama seseorang, itu biasa-biasa aja. Wajar saja. Kita
nggak perlu cemas. Karena, itu sebetulnya bukan pacaran. Itu cuma
luapan rasa simpati saja. Hanya teman-teman kita sering meledek,
pacaran, pacaran...."
Ya, hampir semua teman Mami
itu pernah mengalami cinta monyet. Dan anehnya mereka masih bisa
ingat akan peristiwa-peristiwa itu.
Kata orang cinta monyet itu
cuma cinta-cintaan. Cinta bohong-bohongan. Tapi mengapa teman-teman
Mami masih ingat aja pada peristiwa yang dianggap nggak penting itu?
Dan yang lebih heran lagi,
kenapa Lupus begitu memusingkan perihal itu? Karena Lupus kini juga
tengah dilanda cinta monyet! Ya, Lupus mencintai anak kelas dua yang
cantik rupanya. Lupus suka sekali pada anak itu. Tapi suka Lupus
hanya terbatas pada mengagumi dan mengamati saja.
Sampai sekarang pun Lupus
belon pernah menyapa anak itu. O iya, anak yang digandrungi Lupus itu
namanya Winy.
Kenapa Lupus tak berani
menyapa? Lupus takut. Takut disangka nggak waras. Takut disangka
ketuaan. Masa masih kecil sudah mau kenal-kenalan segala.
Akan tetapi, setelah Lupus
mendengar teman-teman Mami dulu pernah juga merasakan perasaan yang
sama, maka Lupus berniat, besok pagi akan menyapa Winy dengan mesra.
Eh, kalo kalian punya
perasaan yang sama seperti Lupus, juga jangan takut-takut. Jangan
malu kalo diledek cinta monyet. Karena, kata orang-orang pintar,
cinta monyet itu merupakan bagian dari proses menjadi dewasa. Proses
untuk tidak ingusan lagi!
Lupus pun menyusul Papi
masuk ke dalam.
Keesokan sorenya, Lupus
lagi asyik menghitung berapa jumlah gadis berpita yang lewat di depan
rumahnya. Ya, saban sore memang banyak gadis-gadis kecil berpita
lewat di depan rumah Lupus. Ada yang lari-lari kecil, ada yang
lari-lari sedang, dan ada juga yang lari-lari besar. Lari-lari besar
maksudnya, lari dengan langkah yang besar-besar. Ya, emang lari-lari
sore lagi musim di kompleks rumah Lupus. Dan kebanyakan yang lari
adalah gadis-gadis kecil berpita, agar rambutnya nggak kusut waktu
berlari. Alasan mereka lari, katanya buat menjaga kondisi supaya
nggak gendut. Genit, ya? Padahal kan mereka masih kecil.
Tinggal Lupus yang jadi
asyik nongkrong di atas pagar rumahnya yang terbuat dari beton,
sambil makan popcorn rasa susu keju.
"Hei, hei, ada yang
jatuh, tuh!" teriak Lupus waktu seorang gadis manis beridung
buncis berlari pas di depan rumah Lupus. Gadis itu menghentikan
langkahnya, dan mulai celingukan ke belakang nyari sesuatu yang
jatuh. Tapi nggak menemukan apa-apa.
"Mana?" tanyanya
pada Lupus.
"Itu, keringetnya!"
Gadis itu memandang Lupus
jengkel, lalu meneruskan berlari-lari kecil. Tu, wa, tu, wa....
Lupus ketawa cekikikan.
Sampai ketelen satu biji jagung. Dan rombongan gadis yang lainnya
mulai nampak dari tikungan jalan. Lari berderap-derap mirip hansip.
Ada yang gendut, ada yang kurus, ada juga yang manis. Larinya juga
lucu-lucu. Ada yang kaki kanan sama tangan kanannya serempak, ada
juga yang melompat-lompat. Lupus mulai pasang stil. Bersiul-siul
sampe mulutnya monyong.
"Aduh, itu yang gendut.
Pinggulnya kayak Donal Bebek!" seru Lupus terpingkal-pingkal.
Dan..., "Hei, hei, itu yang kurus, kalo lari dengkulnya jangan
diadu-adu, dong. Kan berisik jadinya...." .
Tak ada yang mau dengar
omongan Lupus. .
"Guk! Guk! Guk!"
Lupus menirukan suara anjing. Dan gadis-gadis itu kaget, lalu pada
ngibrit ketakutan.
Lupus terpingkal-pingkal
lagi.
Dan begitulah kesibukan
anak usil itu setiap sore. Mami sampai suka geleng-geleng kepala kalo
kebetulan mengintip dari balik gorden. Ada aja komentarnya buat para
atlet balap lari yang kerap lewat di depan rumah.
Jam lima, ketika langit
mulai merah, tiba-tiba ada seorang gadis manis asyik berlari kecil
sambil membawa anjing pudel. Lupus tercekat. Gadis kecil itu Winy,
anak kelas dua yang ia taksir. Ya, tadi Lupus tak sempat menegur anak
itu ketika pulang sekolah. Karena ada Pepno, Andi, Tomi, dan Iko Iko.
Lupus malu dikatain.
Sekarang Winy berlari
sendirian ke arahnya.
"Eh, Winy!" tanpa
sadar- Lupus menyapa ketika gadis putih yang berambut ikal itu pas
lewat di depan rumahnya. Gadis itu berhenti. Menatap Lupus.
"Lupus, ya?"
Lupus girang hatinya karena
dikenali.
"L-Iagi ngapain, Win?"
Lupus agak gugup.
"Lagi lari. Rumah kamu
di sini, ya?"
"I-iya. Mampir, yuk?"
"Ah, udah kesorean.
Kamu aja main ke rumah. Rumah Winy di kompleks sebelah, kok. Yuk,
Winy mau pulang dulu. Dadaaah. "
Lupus masih
terbengong-bengong ketika Winy menghilang dari balik tikungan. Ah,
senangnya.
Tapi tiba-tiba lamunan
Lupus buyar. Beberapa anak yang tadinya lari-lari kecil, kini
pontang-panting ke sana kemari. Ada apa? Lupus segera berdiri. Olala,
ternyata beberapa becak di belakang mereka menyeruak dengan kecepatan
tinggi. Ada balap becak?
Bukan. Para tukang becak itu
lagi pada lari pontang-panting menyelamatkan diri dan becaknya dari
kejaran petugas penertiban bebas becak.
Melihat tontonan yang asyik
ini, Lupus langsung lupa kepada Winur dan ikut berteriak-teriak seru,
sambil berjingkrak-jingkrak di atas pagar.
"Aduuh, Lupuuuuus!
Nanti kamu jatuh!" teriak Mami dari balik jendela.
Tapi Lupus tetap keasyikan
memberi semangat pada tukang becak yang pada balapan itu, "Ayo,
Bang! Kebut! Terus! Terus!
Dan entah karena diberi
semangat oleh Lupus, para tukang becak itu makin semangat menggenjot,
menyelinap masuk ke gang-gang sempit yang tak bisa dilalui petugas
penertiban.
Lupus bertepuk tangan riuh.
Tapi, apa semua becak sudah
selamat dari kejaran para petugas? Aduh, aduh! Ternyata masih ada
satu becak yang tertinggal agak jauh di belakang mereka. Kasihan
sekali, abang becaknya sudah agak tua. Mungkin sudah tak kuat lagi
mengenjot becaknya seperti abang becak yang lainnya. Abang tua itu
kelihatan bingung, celingukan mencari tempat aman terdekat, untuk
bisa menyembunyikan becaknya dari kejaran petugas. Lupus kasihan
memandang dari atas pintu pagar. Seketika otaknya bekerja. Ia pun
lantas melompat turun, dan buru-buru membuka pintu pagar di halaman
samping, tempat Papi biasa memarkir mobil tuanya. Pintu pagar itu
akan membuka jalan sampai ke halaman belakang rumah Lupus yang cukup
luas. Yang pasti aman buat persembunyian becak dari petugas
penertiban.
"Ayo, Pak, masuk ke
sini!" seru Lupus dari balik pintu pagar yang terbuka.
Tukang becak tua itu
celingukan sejenak. Seolah ragu. Namun, seperti merasa tak punya
pilihan lain, ia buru-buru mendorong becaknya ke halaman rumah Lupus.
"Terus ke belakang, Pak. Nggak bakal ketauan!" ujar Lupus
sambil buru-buru menutup pintu.
Pada saat Pak Tua itu
mendorong becaknya ke halaman belakang, mobil petugas penertiban
lewat. Dan sama sekali tak melihat becak yang disembunyikan di
halaman rumah Lupus. Lupus menarik napas sambil bersandar di balik
pintu pagar.
"Aduh, terima kasih
sekali, Nak Lupus, Bu Lupus," ujar Pak Tua itu sungkan ketika
Mami meletakkan singkong goreng di depannya.
"Ah, nggak apa-apa.
Ayo, silakan dicicipi," ujar Mami tersenyum. "Lalu
bagaimana lanjutan ceritanya?"
Pak Tua itu meneguk kopi
panasnya dengan nikmat, lalu berkata, "Bapak tinggal punya satu
cucu, Bu, sebesar Nak Lupus ini. Bapak sayang sekali sama dia. Dan
satu-satunya pekerjaan yang bisa Bapak lakukan untuk membiayai
sekolah cucu Bapak, dan juga untuk makan sehari-hari, ya dari narik
becak ini, Bu. Bapak nggak tau, harus bagaimana kalo becak ini sampai
disita yang berwajib. Dengan apa Bapak bisa mencari nafkah lagi.
Bapak tak punya keahlian untuk kerja yang lain. Tiap hari Bapak
bingung, ke mana harus menyembunyikan becak ini. Bapak tak bisa hidup
selalu dikejar-kejar seperti ini. Tapi Bapak juga tak ingin cucu
Bapak jadi orang bodoh seperti Bapak. Dia harus sekolah...."
Mami terharu. Lupus juga
ikut-ikutan terharu.
Sesaat suasana hening.
"Kenapa Bapak tak
pindah ke kampung saja? Kan di sana boleh narik becak?"
"Ya, itu sudah Bapak
pikirkan. Tapi sekarang tabungan Bapak belum cukup. Kan pindah
sekolah harus ada biaya tambahan."
"Saya punya usul, Pak,"
ujar Mami akhirnya. "Bagaimana kalo sementara ini Bapak titipkan
saja becak Bapak di sini? Setiap pagi, saat situasi aman, Bapak boleh
mengambil becak Bapak dan mulai beroperasi di dekat-dekat sini. Kalau
menjelang ada pembersihan, Bapak bisa menyimpan kembali becak Bapak
di halaman ini. Bagaimana?"
Sinar mata Pak Tua itu
berbinar. "Terima kasih. Terima kasih sekali, Bu. Bapak tak
mengira, ada orang yang masih mau memperhatikan nasib Bapak. Terima
kasih, Bu."
"Bapak bisa pulang
sekarang dengan tenang. Kembalilah besok pagi untuk mengambil
becaknya."
Pak Tua itu mengucapkan
terima kasihnya berkali-kali. Lalu pamit pulang. Kepada Lupus, Pak
Tua itu menjabat tangan. Lalu Mami dan Lupus melepas kepergian tukang
becak itu dari pagar depan.
Setelah Pak Tua pergi, Lupus
memandang Mami yang sedang membereskan piring bekas dan bertanya,
"Mi, apa tindakan kita ini memang benar? Becak kan dilarang?"
Mami menatap Lupus sebentar.
"Menolong orang kan nggak ada salahnya, Pus. Lagi pula..."
"Lagi pula kenapa, Mi?"
"Tiap pagi Mami nggak
bakalan gempor jalan kaki ke pasar lagi. Sekarang ini becak udah
jarang. Dan kendaraan umum untuk gang-gang kecil nggak ada. Apa kamu
tega ngebiarin Mami jalan dari pasar panas-panas sambil bawa
belanjaan sekeranjang penuh? Nah, sekarang kan bakal ada yang
nganterin tiap pagi...."
“Ah mami bisa ajah”ujar
lupus sambil tersenyum.
BILANGIN MAMI, LO...
Ini cerita ketika bulan
puasa. Lupus dan Lulu, meski masih mungil, tapi sudah diwajibkan Papi
puasa sampai magrib. Sampai matahari terbenam di balik belahan bumi
barat. "Biar irit," bisik Papi ke Mami. "Kan mereka
tak minta jajan lagi sepanjang siang. "
Namun udara sore di bulan
suci itu terasa panas. Panaaas banget. Saking panasnya, keringat yang
menetes di kening Lupus langsung mendidih. Yang jelas sore itu
benar-benar terasa menyebalkan. Padahal hari itu adalah hari pertama
di bulan puasa. Lupus sampe uring-uringan. Dia bingung banget
mengatasi hawa panas. Mana tenggorokannya jadi ikut-ikutan kering
lagi. Mau kumur-kumur takut batal. Biar terasa seger, akhirnya Lupus
mengambil kipas angin kemudian membuka mulutnya lebar-lebar.
Maksudnya biar tenggorokkan bisa seger, gitu.
Dari pada resah mikirin hawa
panas, kenapa nggak ngajakin Lulu main tebakan aja, Pus. Lulu-nya
mana, ya? Nah, itu. Kebetulan Lulu juga lagi nggak ada kerjaan.
Tapi sebetulnya Lupus memang
agak males ngajakin Lulu main tebakan. Abis tiap dikasih tebakan Lulu
bisa ngejawab terus, sih.
"Lu," panggil
Lupus. "Main tebakan, yuk?"
"Boleh," tukas
Lulu cepat, sambil tetap memainkan Barbie. "Tapi kalo ketebak
jangan marah, lho."
"Tapi kali ini pasti
nggak bakal ketebak"
"Coba aja," tukas
Lulu.
"Tuti apa yang lagi
ngetop sekarang?" tanya Lupus dan berharap Lulu nggak bisa
ngejawab.
Lulu yang cuek itu terus aja
menyayang-nyayang bonekanya dan cuma berkata, "Itu tebakan
kecil, Kak."
"Iya, Tuti apa, kalo
tau?" Lupus merasa kesel diremehin begitu.
"Tuti One Jump Street!"
Lupus melongo karena Lulu
dengan gampang menjawab tebakannya. Maksud jawabannya memang: Twenty
One Jump Street, film seri yang lagi ngetop diputar di televisi
swasta.
"Oke, satu lagi. Tipi
apa yang bisa terbang?" Lupus yakin kali ini Lulu pasti nggak
bisa nebak.
"Itu juga kecil, Kak."
"Iya, tipi apa?!"
"Tipi... kir-pikir
mustahil, deh. Hihihi."
Sial! Lupus bener-bener
sial. Lagi-lagi ketebak. Lupus jadi kesel. Dan tanpa disadarinya,
karena tenggorokannya semakin kering setelah melontarkan tebakan,
Lupus membuka pintu kulkas dan langsung menenggak air dingin dalam
botol.
"Wah, Kak Lupus batal!
Kak Lupus batal!" teriak Lulu mengingatkan.
Ya ampun ! Lupus bener-bener
lupa. Dia nggak sadar kalo sedang puasa. Tapi botol air dingin itu
sudah keburu kosong melompong.
Lupus kaget banget. Dia
buru-buru menyimpan botol itu di dalam kulkas. Kemudian menyeka
mulutnya dan berusaha mengeluarkan air yang sudah diminumnya.
"Naa... sengaja minum,
ya. Bilangin Mami, 1o..."
"Jangan, Lu. Saya nggak
sengaja. Bener."
"Nggak sengaja kok abis
sebotol."
"Tadinya nggak sengaja,
terus nanggung, gitu."
"Ya, udah, ntar
bilangin Mami!"
"Jangan, Lu, nanti Mami
bisa marah berat kalo sampe tau anaknya nggak puasa. Mami akan merasa
gagal mendidik anaknya dengan akhlak yang baik. Dan meskipun puasa,
Mami pasti akan tetap marah-marah, karena Mami marahnya disimpan
setelah buka puasa nanti. Jangan ya, Lu."
"Nggak bisa. Pokoknya
Lulu bilangin!"
"Duh, jangan dong, Lu.
Nanti saya nggak dibeliin baju Lebaran, nih. Saya juga pasti akan
dapat hukuman nguras bak mandi, Lu."
"Masa bodoh. Kalo nanti
Mami pulang dari pasar, Lulu bilangin!"
"Jangan, Lu. Tolong
saya, dong. Nanti kalo kamu mau ngasih duit ke saya pasti saya
terima, deh. Asal kamu nggak ngadu ke Mami. "
"Enak aja ngasih duit
ke kamu. Kamu yang harus ngasih duit ke saya, tau!"
"Iya, iya. Nanti kamu
saya kasih duit. Kamu juga boleh main-main di kamar saya, boleh
ngacak-ngacakin buku-buku cerita, boleh guling-gulingan di kasur.
Asal jangan ngadu ke Mami."
"Tapi benar, ya, Lulu
boleh ngapain aja?"
"Iya."
Dan ketika Mami pulang dari
pasar membeli manis-manisan buat berbuka nanti, Lupus merasa
deg-degan. Takut-takut kalo Lulu ngadu. Karena kalo ngadu bisa
berabe.
"Halo, anak-anak, lagi
pada ngapain, nih?" sapa Mami pada Lupus dan Lulu.
"Ya, lagi gini-gini
aja," tukas Lulu cuek.
Tapi Lulu tiba-tiba naik ke
pundak Lupus. "Ayo, jadi kuda! Jalan muter-muterin ruang makan!"
Mami kaget. "Lulu, kamu
ini apa-apaan, sih! Kakakmu kan puasa, nanti capek, dong."
Tapi Lulu cuek. Dan Lupus
jelas nggak bisa berbuat apa-apa. Sementara Lulu benar-benar
memanfaatkan peluang ini.
"Nggak apa-apa, Mi, Kak
Luputs kuat kok. Kan tadi malem saurnya nambah. Iya, kan, kuda?"
"Bener, Pus, kamu nggak
apa-apa?" Mami kuatir.
"B-bener, Mi, Lupus
nggak apa-apa, kok," ujar Lupus cepat. Padahal hatinya gondok
bukan main. Pengen rasanya ngejitak pala Lulu.
"Hei, kudanya kok nggak
mau jalan, sih. Ayo jalan!" Lulu menyabet pantat Lupus pake
pensil.
"Auw!" Lupus
berteriak kesakitan. Tapi Lupus nggak bisa berbuat apa-apa. Ia harus
mau mengikuti perintah Lulu.
Setelah puas main
kuda-kudaan, Lulu kemudian minta dipijitin kakinya. Lupus keki
banget. Dia udah nggak tahan mau ngejitak pala Lulu.
Tapi Lulu cuek. "Jitak
aja kalo berani. Coba jitak!"
"Ya, ya, nggak. Nggak
jadi ngejitak."
"Ayo pijit!"
Mami yang lagi repot nyiapin
makanan buat buka puasa, heran banget ngeliat tingkah Lupus yang
mau-maunya mijitin kaki adiknya.
"Wah, tumben banget.
Tadi mau jadi kuda-kudaan, sekarang mau mijit. Ceritanya mau
banyak-banyak berbuat amal di bulan puasa, ya, Pus," komentar
Mami.
Lupus tak menanggapi
omongan Mami. Ia merasa hari itu adalah hari paling sial baginya.
Karena Lulu terus-terusan ngerjain. Lulu bener-bener keterlaluan.
Bayangin aja, minta dipijit dari tadi sore sampe menjelang magrib.
Tapi ketika Lulu mulai ngacak-ngacak buku-buku cerita koleksinya,
Lupus benar-benar nggak tahan untuk tidak ngejitak kepala Lulu.
"Hua hua hua... hua hua
hua...." Lulu pun menangis berkoak-koak.
Mami berteriak dari dalam
dapur, "Ada apa sih? Masa puasa-puasa pada berantem. Ayo dong
pada beres-beres, bentar lagi magrib, tuh!"
Lupus nyesel juga ngejitak
pala Lulu. Pasti ni anak bakal ngadu. Tapi untungnya belon sempat
Lulu berteriak ke Mami, bedug magrib bertalu-talu.
"Alhamdulillah...."
Tapi di meja makan Lupus
kembali kebat-kebit.
"Awas lho, Lulu
bilangin.:.," ancam Lulu sambil mengusap air matanya.
"Kenapa masih pada
berantem, sih. Percuma pada puasa, dong. Baru Mami terheran-heran
ngeliat kalian rukun, eh, tau-tau pada berantem lagi. Lulu tadi
kenapa nangis?" tegur Mami sambil sibuk menata meja makan.
Belon sempat Lulu ngejawab,
Lupus langsung menyorongkan sesuatu. "Mau kolak pisang, Lu?
Ambil aja, nih."
Lulu girang dan mengambil
kolak pisang itu.
"Lulu, tadi kenapa kamu
menangis?" Mami mengulang pertanyaannya.
"Mau jajan kue serabi
di depan mesjid, Lu? Nih!" Lupus tiba-tiba menyodorkan selembar
uang dua ribuan.
Lulu mengambil duit itu dan
cepat dimasukkan ke sakunya.
"Lulu... kenapa kamu
tadi menangis?" teriak Mami kesel karena pertanyaannya nggak
dijawab-jawab.
"A-anu, Mi..."
"Anu apa?"
Sementara Lupus
menendang-nendang kaki Lulu, menawarkan sebuah permen coklat.
"Anu apa, Lu? Kok diam,
sih!"
"A-anu, Lulu tadi
dijitak Kak Lupus."
"Lupus, kenapa kamu
menjitak Lulu?"
"Dia mengacak-ngacak
buku cerita," Lupus menjawab tertunduk.
"Lulu, kenapa
ngacak-ngacak buku cerita Lupus?"
"Kak Lupus mengizinkan
saya untuk mengacak-acak, kok."
"Lupus, kenapa
mengizinkan Lulu untuk mengacak-acak buku cerita kamu?"
"Karena takut kalo Lulu
ngadu ke Mami bahwa..."
"Bahwa apa?"
"Bahwa kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa... Eh, salah mi bukan itu."
"Jadi bahwa apa, dong!"
Mami bener-bener nggak sabar.
"Bahwa Lupus tadi minum
air es!"
"K-kamu minum air es?"
"Iya, Mi. Tapi Lupus
nggak sengaja. Sumpah!"
Anehnya Mami tak melanjutkan
interogasinya lagi. Dan Mami juga nggak marah. Dia kini malah
terbengong seribu basa.
"Mi, Mami kenapa
bengong?" tanya Lupus dan Lulu heran.
"Nggak. Nggak apa-apa.
Cuma waktu di pasar tadi sore Mami juga beli es cendol segelas,"
“Wah mami batal juga dong
!” ujar Lupus dengan Lulu.
“Yaa , mami kan gak
sengaja. . ., lagi juga panasnya gak nahan banget sihh udah gitu mami
harus bawa belanjaan yang berat buat buka.”
“Kalo Lupus kenapa batal
?” tanya mami.
“Lupus lupa mii.”
“Lupa apa kesel gara-gara
tebakan kak Lupus aku tebak semua ?” nyambung Lulu.
“Itu juga termaksud miii.”
kata Lupus.
“Ya sudahlah, kali ini
Lupus mami maafkan, tapii...”
“Tapi apa mi ?” Lupus
penasaran.
“Tapi besok Lupus ikut
mami ke pasar.”
“Ngapain mi ke pasar ?”
“Ngapain mi ke pasar ?”
“Jualan kantong ya mi ?”
Ujar Lulu yang ingin ikutan.
“Gak dong..., emang Lulu
mau kak Lupus jualan kantong ?” kata mami.
“Gak apa apa mi, abis muka
kak Lupus mirip kantong mii.”
Lupus pun tidak terima di
bilang mukanya mirip kantong oleh Lulu. Lupus pun lalu menendang kaki
Lulu tapi sayang yang Lupus tendang bukan kaki Lulu tapi kaki kursi.
“Lupus besok sehabis
sholat shubuh jangan tidur lagi yahh” ujar mami.
“Emang kenapa mii ?”
Lupus heran.
“Kan mau ke pasar.”
“Ohh, oke deh mami.”
Keesokan harinya setalah
sholat shubuh, Lupus pun menepati janjinya dai tidak tidur lagi
“Mi jadi ke pasar gak ?”
“Jadi.”
Sesaat setelah di pasar.
“Mi Lupus ngapain ?”
“Ntar Lupus bawain
belanjaan mami.” ujar mami sambil tersenyum.
“Yaahh, tau gitu Lupus
tadi tidur lagi ajah.”
Dengan kesal tapi Lupus
tetap membawakan belanjaan maminya.
0 komentar:
Posting Komentar