Sabtu, 11 April 2015

Ilmu Budaya Dasar: Suku Banten


SUKU BANTEN


Suku Banten, lebih tepatnya Orang Banten / Orang Kanekes adalah penduduk asli yang mendiami bekas daerah kekuasaan Kesultanan Banten di luar Parahiyangan, Cirebon dan Jakarta. Sejak abad ke 11 hingga 12 saat berdirinya Kerjaan Sunda, di daerah Banten sudah ada pemukiman. Daerah ini berkembang pesat pada abad ke-16 saat Islam masuk pertama kali di wilayah tersebut. Perkembangan pemukiman ini kemudian meluas atau bergeser egara Serang egara arah pantai.
Pada daerah pantai tersebut, didirikan Kesultanan Banten oleh Sunan Gunung Jati. Kesultanan ini seharusnya menguasai seluruh bekas Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Hanya saja Sunda Kalapa atau Batavia direbut oleh Belanda serta Cirebon dan Parahiyangan direbut oleh Mataram. Daerah kesultanan ini kemudian diubah manjadi keresidenan pada zaman penjajahan Belanda.
Mula-mula Banten merupakan pelabuhan yang sangat ramai disinggahi kapal dan dikunjungi pedagang dari berbagai wilayah hingga orang Eropa yang kemudian menjajah bangsa ini. Pada tahun 1330 orang sudah mengenal sebuah egara yang saat itu disebut Panten, yang kemudian wilayah ini dikuasai oleh Majapahit di bawah Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk.
Orang asing kadang menyebut penduduk yang tinggal pada bekas kersidenan ini sebagai Bantenese yang mempunya arti ”Orang Banten”. Setelah provinsi Banten terbentuk, ada sebagian orang yang menterjemahkan Bantenese menjadi suku Banten sebagai kesatuan etnik dengan budaya yang unik. Penggunaan nama Banten sebenarnya sudah muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai dan dan daerah sekelilingnya yaitu Cibanten atau sungai Banten.



  • ADAT ISTIADAT :
*        Pakaian :
Pakaian adat yang dikenakan suku banten pada bagian baju masyarakat banten sering disebut Baju Pangsi. Sementara celananya disebut dengan celana Komprang yang panjangnya sebatas mata kaki atau sampai betis. Dulu pakaian semacam ini sebenarnya juga sering digunakan oleh masyarakat Jawa Barat Sunda dalam kesehariannya, terutama pada saat melakukan pencak silat. Makanya, mengenakan pakaian adat ini seperti seorang jawara. Tapi, masyarakat Jawa Barat sudah jarang mengenakan pakaian semacam ini. Sementara masyarakat Banten, terutama suku Baduy masih menjaga kelestarian pakaian adat ini. Pembuatannya hanya menggunakan tangan, tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun, lalu tidak terdapat kancing. Selain itu juga, masyarakat banten mengenakan ikat kepala berwarna putih atau hitam. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang. Pakaian adat mereka lebih sederhana, dan lebih mengutamakan pendekatan alam, baik dari karakter busananya maupun warna polos yang dikenakan. Bagian bawahnya menggunakan kain sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain.
*        Kepercayaan :
Masyarakat Baduy atau Kanekes memiliki agama kepercayaan yaitu Sunda Wiwitan, meski ada beberapa masyarakat Baduy yang sudah memeluk agama Islam atau Buddha. Keberagaman dalam memeluk agama pada masyarakat Baduy merupakan bentuk ketaatan terhadap nilai-nilai dan pandangan hidup yang diturunkan nenek moyang. Agama apapun yang menjadi ajaran dalam masyarakat Baduy mengajarkan bahwa semua hal yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah. Sunda Wiwitan sebagai ajaran masyarakat Baduy adalah bentuk penghormatan dan kepercayaan kepada satu kuasa yaituBatara Tunggal. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan – kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh. Hal itu dilakukan agar manusia hidup menurut alur (filosofi di atas) dalam menyejahterakan kehidupan masyarakat Baduy. Gangguan terhadap inti bumi akan berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia.
Konsep keagamaan dan adat yang penting menjadi inti pandangan hidup masyarakat Baduy yaitu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung”  (Panjang tak boleh dipotong, Pendek tak boleh disambung). Pandangan hidup tersebut merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas pandangan hidup mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semua itu manusia akan dilindungi oleh kuasa tertinggi yaitu Batara Tunggal.
Kewajiban masyarakat Baduy untuk menjalankan ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan diajarkan melalui puun sebagai pemimpin tertinggi masyarakat Baduy yang merupakan keturunan Karuhun. Kewajiban itu adalah memelihara Sasaka Pusaka Buana, memelihara Sasakan Domas atau parahyang, mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat, bertapa bagi kesejahteraan dunia, berbakti kepada dewi padi dengan cara berpuasa pada upacara, memuja nenek moyan dan membuat laksa untuk bahan pokok seba.
Adapun nenek moyang orang Baduy terbagi pada dua kelompok yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para batara dan masa puun. Gambaran Batara Tunggal terdapat dalam dua dimensi yaitu sebagai suatu kuasa yang kekuatannya yang tidak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana.
*        Bahasa :
Bahasa Banten adalah salah satu dialek dari Bahasa Sunda. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda dituturkan di provinsi Banten khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut, kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang prosentasenya. Basa Sunda Dialek Banten ini dipertuturkan di daerah Banten selatan. Daerah Ujung Kulon di sebelah selatan Banten, semenjak meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883, tidak dihuni lagi dan sekarang menjadi taman nasional.
Perbedaan tata bahasa antara Bahasa Banten dan Bahasa Sunda dikarenakan wilayah Banten tidak pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram, sehingga tidak mengenal tingkatan halus dan sangat halus yang diperkenalkan oleh Mataram. Bahasa ini dilestarikan salah satunya melalui program berita Beja ti Lembur dalam bahasa Banten yang disiarkan oleh siaran televisi lokal di wilayah Banten.
Perbedaan antara bahasa Sunda di Priangan dengan di Banten dilihat dari dialek pengucapannya, sampai beberapa perbedaan pada kosa katanya. Bahasa Sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan. Bahasa Sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuno.
*        Kesenian :
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti Koja dan Jarog(tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.
Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu: 
1.  Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan). 
2.   Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi) 
3.   Seni Ukir Batik. 

  • SISTEM SOSIALISASI PADA SUKU BANTEN
*        Organisasi Sosial
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Pu'un. 
Seluruh wilayah di Kanekes dipimpin oleh puun. Jabatan puun bersifat turun temurun dan masa jabatannya tidak tentu. Dalam kehidupan sehari-hari puun tidak ada bedanya dengan masyarakat lain, hanya pada saat upacara atau tugas ada semacam aturan protokoler tertentu. Puun memiliki huma puun (lading karena jabatan) dan rumah (dinas) puun. Bentuk dan kondisi rumah puun sama dengan masyarakat lainnya, hanya letaknya yang berada di ujung selatan kompleks perumahan dan menghadap ke arah utara berhadapan dengan bale kapuunan (balai kapuunan).
*        Konsensus Masyarakat Kanekes 
Banyak sekali konsensus atau kesepakatan bersama yang dibuat masyarakat baduy. Konsensus ini tetap terjaga dan di percaya secara rasional oleh masyarakat baduy tersendiri. Konsensus tersebut merupakan suatu amanah turun temurun dari buyut atau leluhur masyarakat baduy.
 Asep kurnia (2010: 129) memandang bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat baduy tidak terlepas dari sikap kepatuhan dan ketaatan pada amanat leluhur. Dimana dan pada situasi apapun mereka selalu menampilkan ciri khasnya yang sederhana, bicara ringkas, apa adanya, jujur, serta menghindari konfrontasi dengan siapapun . 
Masyarakat baduy sangat disiplin dengan konsensus yang mereka pegang dari amanah leluhur tersebut. Amanah leluhur itu tertanam dalam segala kehidupan bermasyarakat masyarakat baduy. Saya melihat bahwa amanah leluhur baduy adalah sebuah karya sastra yang berupa seperti pantun. 
Ada banyak konsensus yang berlaku di masyarakat baduy, seperti salah satunya pepatah untuk taat pada hukum :
Lojor teu beunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Gede teu beunang dicokot
Leutik teu beunang ditambah
Mipit kudu amit, ngala kudu menta
Ngagedig kudu bewara
Mun neuteuk kudu sateukna
Mun nilas kudu sapasna
Mun ngadek kudu sacleukn
Nu lain dilainkeun, nu enya dienyakeun
Ulah gorok ulah linyok (Kurnia, 2010: 130). 

yang artinya bahwa masyarakat baduy dalam menaati suatu hukum harus dilandasi dengan kejujuran tanpa menambah atau mengurangi. 
*        Tahap – Tahap Penyelesaian Masalah / Konflik Suku Kanekes
Ada 5 cara penegakan hukum, yaitu :
  1. Tahap Pertama, permasalahan dicoba diselesaikan secara kekeluargaan. 
  2. Tahap Kedua, bila secara kekeluargaan tidak selesai, maka diteruskan pada pembicaraan dengan mengundang sabah-sabah atau kerabat kedua belah pihak sebagai saksi dalam menempuh jalan damai. 
  3. Tahap Ketiga, bila tahapan kedua juga tidak membuahkan hasil maka permasalahan tadi dicoba dimusyawarahkan di tempat kokolotan lembur disaksikan oleh kedua belah pihak dan para tokoh-tokoh masyarakat yang ada di daerah atau kampung tersebut.
  4. Tahap Keempat, bila di kokolot lembur juga tidak terselesaikan maka permasalahan tersebut dibawa ke desa (jaro pamarentah). Disini disaksikan oleh para tokoh adat yang lebih tinggi yaitu jaro tangtu tilu juga jaro tujuh. Disini dimusyawarahkan kembali dan biasanya dilaksanakan sebuah perjanjian hitam di atas putih (surat perjanjian) dan ini disebut penegakan hukum secara lahiriah.
  5. Tahap Kelima (terakhir), Bila pada tahap keempat masih juga tidak tuntas maka akan dilaksanakan sumpah adat baduy yaitu mengucapkan kata-kata sumpah yang sudah ada dengan disaksikan oleh para tokoh adat yang ada. Yaitu :
Kami menta disaksikan ku guriang tangtu tilu jaro tujuh: “Aing sumpah, lamun aing bohong, kaluhur ulah pucukan, kahandap aing ulah jangkaran, gurulang garolong karaca endog, lungkay lingkeuy kacara geureung ditengah bajing cangkilungan. Ulah diberean daya upaya ka gusti anu nyidikeun, ka Allah anu nganyayakeun ka pangeran leuwih unginga anu nangtatungan kasakabeh umat.”

0 komentar:

Posting Komentar